Kamis, 10 September 2015

Wanita Asia Tenggara Pertama Penakluk EVEREST, merasa tak dihargai, masuk RSJ


Sobat ada berita menarik nih yang bisa kita simak langsung aja ya di baca,
Clara Sumarwati (Penakluk EVEREST) Merasa Tak Dihargai, Masuk Rumah Sakit Jiwa
Wanita Asia Tenggara Pertama Penakluk Everest, Clara Sumarwati (42) tahun 1996 berhasil mendaki puncak Everest berketinggian 8.848 mdpl. Dia menjadi wanita pertama di Asia Tenggara yang berhasil menggapai puncak tertinggi di dunia itu. Kini dia mengidap gangguan jiwa dan hari-harinya dijalani di rumah sakit jiwa Profesor Dokter Soeroyo Magelang (RSSM).

LORONG sepi di rumah sakit jiwa itu menjadi kehidupan nyata bagi wanita pertama Indonesia yang menaklukkan gunung Everest. Bersama puluhan wanita lainnya harus mejalani rehabilitasi karena gangguan kejiwaan menyelimutinya. Wanita itu menghuni bangsal W3 atau Wisma Drupadi RSSM. Ketika Suara Merdeka mengunjunginya, Clara baru berada luar. Tak lama kemudian muncul wanita tinggi dan agak gemuk, rambutnya beruban, hampir merata.


Wajahnya tampak kusut dan kurang terawat, tapi di balik itu ada senyum yang mengembang menyapa orang-orang asing di sekelilingnya. Begitulah kondisi wanita perkasa ini menjalani kehidupan rehabilitasinya. Clara pertama dirawat di RSSM pada 1997 atau satu tahun setelah menaklukkan Everest kemudian dirawat empat bulan kondisinya membaik dan diperbolehkan pulang. Pada tahun 2000 kambuh lagi dan setelah dirawat enam bulan kondisinya membaik dan diperbolehkan pulang. Tahun ini masuk ke RSSM, 30 Juni lalu dan kini kondisinya sudah stabil. Tapi belum diambil oleh keluarganya di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

Selama menjadi pasien dia seringkali bercerita keberhasilannya menaklukkan Gunung Everest. Namun, ceritanya kerap diabaikan oleh perawat atau dokter karena dianggap halusinasi atau khayalan. Bahkan keluarganya sendiri juga menutup-nutupi soal informasi itu.
’’Belakangan ternyata keperkasaan Clara adalah sebuah kenyataan. Setelah Deputi Kepeloporan Pemuda, Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, Dr Amir Hamzah MHum, berkunjung ke rumah sakit mengenali Clara,’’ kata Dirut RSSM Djunaedi Tjakrawerdaya, kemarin.
Kedatangan Tim Deputi dalam rangka penilaian Pemuda Pelopor Bidang Seni Budaya dan Pariwisata, Poppy Safitri sebagai salah satu wakil Jateng yang maju ke tingkat nasional. Di RSSM Poppy mengajar tari pasien wanita, sehingga tim penilai melihat aktivitas pemebelajaran itu. Dan Clara adalah salah satu siswanya. Djunaedi menceritakan, saat itulah Tim Deputi mengenali sosok perempuan perkasa itu dan Clara sendiri juga mengenali mereka. Akhirnya, pihaknya benar-benar percaya, dialah wanita yang menaklukkan Everest.
“Bapak, masih ingat saya nggak? Saya Carla pak, pendaki wanita Indonesia dan ASEAN pertama yang menaklukan Gunung Everest,” ucap Clara seperti ditirukan Humas RSSM, 
Saiful Amir awalnya kaget ditegur Clara. Namun beberapa saat kemudian pria tersebut mengingatnya. Clara adalah wanita Indonesia pertama yang berhasil mencapai Puncak Everest pada 1996 silam. Sejak saat itu semua pihak di RSJ Soerojo, termasuk para dokter dan pejabat lainnya, mempercayai pengakuan Carla. Selama ini mereka menyangka Carla hanya mengarang cerita bahwa dirinya pernah mendaki gunung tertinggi di dunia itu.

Frustasi, Menurut Djunaedi, salah satu penyebab Clara mengalami stres berat karena kurangnya penghargaan dari sisi materi atas prestasi hebatnya selama ini. Pada awal masuk rumah sakit, sering marah-marah dan halusinasi. Ini diakui dokter Haryono Padmo Sudiro Spk, yang merawatnya. ’’Pemicunya antara lain dia punya prestasi mendaki Mount Everest, tetapi dia merasakan kurang dihargai oleh lingkungan. Dia tidak dihargai bahwa pernah ke sana,”ungkap Haryono.
Menurut Haryono, kekesalan itu menimbulkan rasa frustasi pada diri Clara. Dokter itu menepis dugaan gangguan jiwa Clara disebabkan faktor keturunan. Tidak ada keluarga Clara mempunyai riwayat mengidap penyakit jiwa.

Faktor lain bisa menjadi penyebab adalah sejumah peristiwa dalam proses pendakian Clara. Menurut Haryono, Clara mengaku sempat membuka alat pernapasan saat berada di puncak Everest.
’’Itu merupakan faktor ketegangan-ketegangan yang bisa menimbulkan orang tension atau coincident, yaitu mengalami kejadian menakutkan. Sebab kekurangan oksigen menyebabkan rasa nyeri tidak karuan,”kata Haryono.
Ingatan Tajam Clara menyimpan beribu cerita kesuksesan dan dia juga menyimpan cerita kepedihan. Saat kami temui dia tampak sehat dan daya ingatnya masih tajam, karena yang sedang sakit adalah proses pikirnya dan mengalami halusinasi bukan kelemahan daya ingatan. Dia mengawali cerita mulai ketika menjadi mahasiswa di Universitas Atmajaya Jakarta jurusan Psikologi Pendidikan, justru belum tertarik dengan unit kegiatan pecinta alam. Dia malah menjadi anggota dari resimen mahasiswa (Menwa).

Baru setelah lulus tahun 1990, cita-citanya menjadi guru BP harus ditanggalkan terlebih dahulu dan berganti haluannya gabung dengan ekspedisi pendakian ke puncak Annapurna IV 7.535 mdpl di Nepal. Pada tahun 1991 rekannya, Aryati, berhasil mencatatkan diri sebagai perempuan Asia pertama yang mencapai puncak tersebut. Pada Januari 1993, Clara bersama tiga pendaki putri Indonesia lainnya menaklukkan puncak Aconcagua (6.959 meter) di pegunungan Andes, Amerika Selatan.
Petualangan mendaki Everest 1996 sebenarnya bukan pertama, tahun 1994 dia pernah melakukannya tapi gagal. Di tahun itu dia begabung bersama lima orang dari tim PPGAD (Perkumpulan Pendaki Gunung Angkatan Darat) untuk menaklukkan gunung es itu.
Tapi baru sampai diketinggian 7.000 meter karena terhadang kondisi medan sulit dan berbahaya di jalur sebelah selatan Pegunungan Himalaya (lazim disebut South Col). ’’Saya justru tertantang dengan kegagalan itu. Saya akhirnya sukses mencapai puncak pada 1996,’’ kenang Clara.
Bendera merah putih yang dikibarkan di puncak mengharumkan nama bangsa ini. Dengan taruhan nyawa dia menggapai angkasa di puncak gunung es. Tapi setelah kembali ke Indonesia, dia hanya mendapatkan selembar kertas penghargaan Bintang Nararya atas prestasi gemilang itu.
sebegitu mahalkah penghargaan di negri ini hingga harus dibayar dengan gangguan jiwa?????


dari berita tadi nih sobat, apa yang dapat sobat bedes-bedes untuk di ambil kesimpulannya?

kita para pendaki dan pecinta alam, bahwa niat tiap-tiap orang berbeda-beda niat saya dan juga teman-teman pun mungkin juga berbeda, kita semua punya otak mansing-masing dengan segala pemikiran sendiri. perjuangan untuk mencapai everest itu tidaklah mudah, jangan dibandingkan dengan gunung-gunung yang ada di indonesia. dari segi materi saja udah kelihatan berapa uang yang harus di kucurkan kalo nggak ada sponsor? kita jelas tahu kan bahwa pendakian termasuk dalam kategori olahraga ektrem, belum lagi kita mempertaruhkan nyawa.

 sebagai orang yang hobi di bidang itu hendaknya kita sangat-sangatlah bersyukur jika bisa mencapai puncak everest. siapa yang nggak pengen coba? itu seperti mimpi yang jadi kenyataan? so kenapa harus sampai jadi gila hanya karena kurangnya pengakuan dan apresiasi? kesempatan seperti itu sendiri sudah sebuah penghargaan yang sanggat besar, yang mestinya disyukuri dan langsung di rasakan oleh seluruh panca indra :) penghargaan itu nggak usah di harapkan, karena untuk mencapai puncak everest adalah sebuah kesempatan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. 

sesungguhnya kita sadar sendiri jika kondisi negeri ini kurang memberi apresiasi kepada para-para olahragawan-wati, orang yang memiliki penemuan hebat, para veteran perang dan lainnya. yang sepatutnya kita sadar kita bukan hidup di dunia khayalan. dalamkanlah rasa syukurmu atas pencapaianmu sesungguhnya masih banyak orang yang menggingginkan mendapatkan kesempatan seperti dirimu-dirimu sekalian wahai pengharum bangsa.

membawa bendera lambang negara, menunjukkan kepada dunia. saya teringat kepada suatu slogan yang kurang lebih berbunyi, "janganlah tanya apa yang sudah negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah kepada dirimu sendiri apa yang sudah engkau berikan kepada negaramu?"
masih banyak orang yang lebih bernasib buruk dari pada engkau clara, kita tengok para atlet veteran perang kemerdekaan itu berada di bawah garis kemiskinan, dengan usia yang sudah tinggal menunggu sang malaikat datang, kulit keriput dengan pancaran mata yang jelas dapat menunjukkan kerasnya perjuangan beliau untuk masa depan generasi seperti kita ini, beliau-beliau ini pun tidak meminta selayaknya rumah mewah harta melimpah maupun penghargaan. mereka hanya berfikiran untuk melanjutkan hidup hari esok dengan tenang. mereka berjuang mempertaruhkan nyawa bukan untuk rasa syukur ataupun penghargaan, namun untuk keberlangsungan dan keberadaan generasi selanjutnya seperti kita ini. bersyukurlah clara untuk segala pencapaianmu, kami memberikan apresiasi dan pengakuan untukmu dalam bentuk doa dan kesembuhan, amin.


Bedes Gunung

Tidak ada komentar :

Posting Komentar